Setiap daerah di Nusantara punya cara tersendiri dalam merayakan Hari Raya Idulfitri. Ada yang menggelar halal bihalal di balai desa, ada yang konvoi keliling kampung, ada pula yang berziarah ke makam keluarga sejak subuh hari. Namun, di Kampung Jawa—sebuah perkampungan tua tempat ku dilahirkan yang terletak di Pulau Rupat, Riau—kami punya satu tradisi yang tak hanya unik, tetapi juga kaya akan nilai kebersamaan. Tradisi itu kami sebut Baraan.
![]() |
Awal Mula Kampung Jawa dan Lahirnya Baraan
Kampung Jawa mulai dirintis hampir satu abad lalu, sekitar tahun 1925, oleh para transmigran dari Pulau Jawa yang memutuskan membangun kehidupan baru di tanah seberang. Mereka datang dengan membawa harapan, doa, dan tentu saja budaya—yang kemudian menyatu dengan tanah pulau Rupat dan menjadi bagian dari identitas kami hingga hari ini.
Awalnya, hanya ada sekitar 15 kepala keluarga. Tapi seiring waktu, Kampung Jawa tumbuh menjadi komunitas masyarakat yang besar. Di tahun 2025 ini, jumlah keluarga yang mendiami kampung kami telah mencapai 250 kepala keluarga lebih. Meskipun bertambah, ikatan kekeluargaan tetap kuat. Bisa dikatakan, hampir semua warga Kampung Jawa memiliki hubungan turunan kekerabatan. Inilah yang membuat suasana di sini sangat akrab dan hangat. Kami tidak hanya sekampung, tapi juga serasa satu keluarga besar.
Dari sinilah tradisi Baraan lahir—tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut, dari langkah kaki ke langkah kaki, tanpa pernah terputus. Sudah hampir 100 tahun tradisi ini dijalankan, dan tidak ada tanda-tanda akan pudar.
Apa Itu Tradisi Baraan?
Baraan adalah tradisi lebaran keliling kampung yang dilakukan bersama-sama. Setelah salat Idulfitri dan halal bi halal keluarga pada 1 Syawal, warga berkumpul di mesjid untuk memulai baraan. Mereka berjalan dari satu rumah ke rumah lainnya, dalam formasi barisan panjang yang rapi dan santai, menyusuri jalanan kampung dengan semangat penuh suka cita dengan kendaraan sepeda motor
Yang menarik, baraan tidak hanya diikuti oleh pria dewasa, tetapi juga oleh perempuan dan anak-anak. Semua berpakaian rapi dan ceria, menyambut suasana lebaran dengan kebersamaan yang tak tergantikan.
![]() |
Momen baraan rombongan perempuan |
Lima Hari yang Dinanti Setiap Tahun
Tradisi Baraan dimulai pada hari pertama Lebaran. Selama lima hari berturut-turut, warga kampung akan saling mengunjungi dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu. Kegiatan baraan di bagi menjadi dua rombongan besar yaitu rombongan laki-laki yang dilaksanakan selama tiga hari yaitu tanggal 1 hingga 3 syawal dan rombongan perempuan yang dilaksanakan selama dua hari yaitu tanggal 4 dan 5 syawal.
Setiap hari, satu rombongan bisa mendatangi 30 hingga 40 rumah. Iya, kamu tidak salah baca. tiga puluh rumah dalam sehari! Bayangkan kaki-kaki itu berjalan dari pagi hingga menjelang sore, menyambangi setiap rumah, mengetuk pintu, naik ke rumah, duduk sebentar, mencicipi hidangan lebaran, bersalaman, lalu beranjak ke rumah berikutnya.
Biasanya, warga akan membagi diri menjadi 2–3 rombongan agar kunjungan bisa berjalan lebih lancar dan tidak menumpuk di satu tempat dan rumah yang dinaiki cukup untuk menampung satu rombongan, namun semuanya memastikan tidak ada satu rumah pun yang terlewat.
Dalam pelaksanaan kegiatan baraan biasanya ada rumah yang tidak ikut menaikkan rombongan karena beberapa alasan seperti ia pergi keluar pulau, ada udzur yang menyebabkan ia tidak sanggup ikut berjalan seharian atau ia bergabung dengan rumah saudara kandung/ayah ibunya.
Bersalaman dan Sepatah Dua Kata
Saat rombongan tiba di sebuah rumah, tuan rumah akan menyambut dengan senyum lebar. Para tamu naik ke rumah, lalu duduk sejenak di ruang tamu atau ruang keluarga. Tuan rumah kemudian menyampaikan ucapan sederhana: “Selamat Idulfitri, mohon maaf lahir dan batin sekeluarga besar jika ada makan minum yang tak sengaja termakan oleh kami ahlil bait mohon dimaafkan dan dihalalkan. Begitu juga sebaliknya salah khilaf makan minum kami yang termakan oleh saudara sengaja atau tidak telah dimaafkan terlebih dahulu"
Sepatah dua kata, tapi penuh makna. Lalu tamu-tamu menjawab dengan hangat, saling memaafkan, dan percakapan kecil pun mengalir. lalu tamu mencicipi makanan yang telah dihidangkan lengkap sebelum mereka masuk rumah.
Menikmati Sajian, Mencicipi Kenangan
Inilah bagian yang selalu ditunggu-tunggu. Setiap rumah menyajikan menu yang berbeda-beda. Ada yang menyuguhkan ketupat dan opor ayam, ada yang menyuguhkan rendang, gulai, sup daging sapi atau kambing, ada pula yang lebih sederhana dengan pecel, sate, pempek atau buah-buahan segar.
![]() |
Aneka hidangan di tradisi baraan kampung Jawa |
Tapi ingat, aturan tidak tertulis dalam tradisi ini adalah: jangan makan terlalu banyak di satu rumah. Cukup satu atau dua suap saja. Kenapa? Karena setelah ini kamu akan berkunjung ke puluhan rumah lainnya yang juga menyajikan menu menggoda. Kalau kamu makan kenyang di rumah pertama, dijamin kamu akan kelelahan sebelum siang tiba!
Meski hanya mencicipi, rasa masakan yang tersaji punya tempat tersendiri di hati. Terlebih bagi kami yang perantau. Saat pulang kampung dan mengikuti baraan, hidangan yang tersaji sering kali membangkitkan memori masa kecil. Rasanya seperti sedang menghadiri kenduri, nikahan, atau hajatan tetangga di masa lalu. Aroma dapur ibu-ibu kampung itu tidak pernah berubah. Rasanya seperti pulang ke waktu yang lama hilang.
Langkah Kaki yang Membangun Rasa
Baraan bukan hanya soal makanan atau ritual tahunan. Ini adalah proses membangun kembali koneksi—dari satu keluarga ke keluarga lain. Bayangkan saja: di kota besar, satu tahun belum tentu kita saling menyapa tetangga. Tapi dalam tradisi baraan, dalam lima hari saja kamu bisa menyambangi setiap rumah di kampungmu, duduk, berjabat tangan, dan memohon maaf secara langsung. Betapa berharganya ini!
Bagi anak-anak, Baraan menjadi ajang bermain sambil belajar sopan santun. Mereka ikut rombongan orang tua, belajar menyapa, mencium tangan, dan tentu saja, berburu kue dan permen di setiap rumah. Sementara bagi orang tua dan lansia, ini menjadi kesempatan melepas rindu dan mengenang masa muda.
Di sepanjang jalan, kamu akan mendengar suara tawa, candaan, dan kadang obrolan ringan tentang panen, anak yang kuliah, atau kenangan masa silam. Tidak ada formalitas, tidak ada gengsi—semua sama, semua saudara.
Malam Hari: Waktu Beristirahat dan Bersiap
Setelah rombongan selesai berkeliling, biasanya menjelang sore, warga pulang ke rumah masing-masing. Malam hari menjadi waktu istirahat. Tapi jangan salah, sebagian warga yang mendapat giliran menjadi tuan rumah esok harinya memanfaatkan waktu malam untuk menyiapkan sajian karena tahu besok giliran rombongan lainnya yang datang.
Makna yang Tak Pernah Luntur
Baraan adalah bukti bahwa tradisi bisa menjadi jembatan penghubung antargenerasi. Ia bukan sekadar kebiasaan, tapi juga sebuah sistem sosial yang dibangun dari nilai: saling menghargai, memaafkan, menyambung silaturahmi, dan menjaga harmoni.
Di tengah dunia yang makin individualis, tradisi seperti ini adalah harta karun. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan tak harus mewah. Cukup dengan berkumpul, duduk bersama, dan mencicipi satu sendok sayur buatan tetanggamu—itu saja sudah cukup untuk membuat hati hangat.
Ayo, Jangan Sampai Punah
Sebagai generasi muda, kita punya tanggung jawab untuk melestarikan tradisi ini. Mengajarkannya kepada anak-anak kita, menceritakannya kepada dunia lewat tulisan, foto, atau video. Baraan bukan hanya bagian dari budaya kampung kami, tapi juga potongan mozaik dari keragaman budaya Indonesia yang luar biasa.
Jika suatu hari nanti kamu terutama komunitas blogpedia nih berkesempatan menginjakkan kaki ke Kampung Jawa di Pulau Rupat saat Lebaran, pastikan kamu ikut dalam rombongan baraan. Siapkan perut, siapkan kaki, dan yang paling penting—siapkan hati untuk menyerap semua kehangatan yang akan kamu temui.
Kesimpulan
Tradisi baraan di Kampung Jawa, Pulau Rupat, adalah cerminan budaya yang penuh makna. Ia bukan sekadar ritual tahunan, tapi perayaan kehidupan, kekeluargaan, dan kebersamaan yang sulit ditemukan di tempat lain. Tradisi ini telah bertahan hampir 100 tahun, diwariskan dari generasi ke generasi sebagai warisan budaya yang hidup. Di tengah modernitas yang terus melaju, semoga tradisi seperti ini tetap lestari, menjadi pengingat bahwa akar budaya dan nilai kekeluargaan adalah kekuatan utama dalam membangun masyarakat yang harmonis.
Wah, baca artikel ini bikin hati anget banget, Kak! 😍
BalasHapusBaraan di Kampung Jawa Pulau Rupat tuh bukan cuma soal keliling rumah ya, tapi keliling hati juga. Hehe. Serius deh, tradisi ini kerasa banget nilai kekeluargaannya. Bisa 30 rumah sehari tuh bukan main! Kaki jalan, tapi hati senang. 😄
Aku jadi ngebayangin betapa ramenya suasana, dari anak-anak sampe orang tua semua ikut, sambil bawa senyum dan niat silaturahmi. Apalagi bagian makan cuma 1–2 suap, itu tantangan berat sih, secara tiap rumah menunya menggoda iman 🤤 Tapi justru itu yang bikin unik dan ngena banget!
Semoga tradisi kaya gini bisa terus dijaga ya, dan jadi inspirasi buat daerah lain. Makasih banget udah nulis cerita sebagus ini Kak. Jadi pengen mudik ke Rupat lebaran nanti! 🤭✨
iyaa..dan tradisi ini yang sering ditunggu-tunggu tiap tahun..gas dulu aja, abis itu baru mikirin diet hihihii
HapusSeru banget ya. Sebagai orang dengan keluarga kecil belum pernah menikmati lebaran rame banget gini
BalasHapusdi kampung kadang emang beda mba :)
Hapussuper sehari berkunjung ke 30-40 rumah, kakinya cukup kuat ya berkeliling seperti itu dan makan terus menikmati sajian tuan rumah, wow emejing ya. Seru sepertinya dan tentunya capek banget ya
BalasHapusKekeluargaannya kuat banget ini
capek sih memang mba..pulang tinggal tidur, perut dah kenyang...wkwkkw
HapusMemang tradisi daerah harus terus dilestarikan, jangan sampai tradisi dan kebiasaan yang baik ini hilang. Apalagi manfaatnya banyak. Khususnya menambah silahturahmi dan mengenal lebih baik.
BalasHapusKebayang seharian seneng banget ketemu sanak keluarga hingga ke puluhan rumah.
betul bangettt...
HapusTradisi ini jadi salah satu mengikat kembali silaturahmi. Saling menyapa dan bertukar canda tawa yang tertunda sebelum lebaran. Pasti seru banget nih! Mana keliatan warganya juga kompak lagi....
BalasHapusiya...jadinya kita kenal ini rumah siapa, ini sodara siapa..
HapusWaw berrati setiap tahun harus menyiapkan fisik yang bugar buat bisa berkeliling 30 - 40 rumah sehari ya Kak. Seru banget tradisinya dan semoga terus terjaga yaa, supaya anak cucu masih bisa merayakan tradisi unik ini juga.
BalasHapusbetul...benar2 merayakan kemenangan 1 bulan penuh berpuasa...
HapusItu berarti dibagi ya kak...ada yg mengunjungi ada yg dikunjungi yaa..seperti keluarga muda mengunjungi kelurga yang lebih dituakan begitu yaaa???
BalasHapusTapi aku bayangkan sehari sampai 50rumah pasti seruuu yaaa..siap2 fisik dan perut juga itu pastinya kalo tiap rumah memberi sajian gak bisa kubayangkan bagaimana kenyangnya hehe
dibaginya pertuan rumah, mau muda mau tua jika di hari itu dia giliran jadi tuan rumah, rumahnya akan dikunjungi orang sekampung. hehe
HapusWah keliling rmh 30 sehari?? luar biasa ini energinya ya kak, bisa jadi pengalamam berharga nih
BalasHapusiya..hal yang selalu dinantikan setiap tahun lebaran
HapusHahh aku baru tahu ada Tradisi Baraan ini, dan menurutku seru banget!!! Karena di perumahanku aja kalo lebaran sepi banget karena pada mudik. Justri aku nungguin lho bisa keliling rumah-rumah, tapi ngga ada yang bisa dikunjungi. Apalagi kalo tiap rumah punya menu yang berbeda. Di sini kebanyakan menunya bakso hihii.
BalasHapusberarti tempat tinggal mba daerah perantauan ya? sama kayak rumah mertua saya. rerata orang perantauan. kalau dah musim lebaran, desa pada sepi karena warganya pada pulang kampung
HapusSeru ya, masih ada tradisi begini. Aku sejak kecil enggak pernah jadi bagian yang keliling, paling ya yang didatangi aja. Sekarang malah jarang banget terima tamu pas lebaran. Hiks
BalasHapuskalau dirumah sendiri,aku malah gak ada tamu yang berkunjung. makanya lebaran selalu di rumah orang tua hihi
HapusMasya allah keren guyup. Berarti satu kampung ini berisi dr orang2 dr berbagai kota asal y mbak. Sesama transmigran gini tentu lebih kuatbondingnya ya. Aku mikir ya kalo 30 rumah berqrti 30 kali makan mantap betul
BalasHapusenggak dari berbagai kota mba. itu dulunya kampung trans yang di huni 15 KK saja. jadi beranak pinak hingga saat ini udah sampai ratusan KK. jadi kalau mau di runut masih ada singgungan satu darah keturunan.
Hapusmasyaallah kebayang serunya mba Efa...semua berkumpul dan mengunjungi suatu rumah tertentu..duh ini udah jarang banget di desa-desa sini juga..biasanya yg datang sekeluarga aja, terimakasih cerita kerennya mbaaa
BalasHapusterimakasih sudah membaca mba yus :)
BalasHapusWah, kelilingi 30 rumah sehari? Emang harus disiapkan matang matang ya. Terutama kondisi fisik, biar sehat. Senang masih ada tradisi seperti ini saat lebaran
BalasHapusbener. jadi biar fit ikut jalan keliling dari pagi ampe sore
HapusWah dari 15 sudah jadi 250 banyak sekali.. Dan semua masih erat hubungannya ya. Keren banget ini.
BalasHapusbener. harus tau silsilah. jangan sampe salah panggil. yang harusnya di panggil mbah, malah di panggil uwak atau bibi. orang jawa agak saklek soal panggilan garis turunan soalnya
Hapusbagus banget ini tradisinya dan memang harus dilestarikan ya, mbak biar silaturahmi juga selalu terjaga. cuma itu artinya harus siap-siap timbangan naik pasca lebaran soalnya makan melulu hihi
BalasHapusJustru malah di tanah Jawa sudah jarang tradisi berkeliling rumah gini. Di tempat saya, palingan ya cuma rumah2 di kiri kanan saja yang disambangi. Paling banter yang satu RT gitu, enggak sampai berpuluh2 rumah gitu. Salut dengan keturunan Jawa yang ada di pulau ini.
BalasHapusMashaAllaa~
BalasHapusjadi satu kampung otomatis saling kenal yaah... Meski cuma kenal wajah.. at least kalo ketemu, saling senyum, sapa dan salam.
Hangat sekali tradisi di Kampung Jawa di Pulau Rupat.
Kalau kami, hanya di sepanjang jalan komplekku aja.
Saling berdiri di depan rumah dan salam-salaman. Tentu aja, yang muda dateng ke depan rumah yang lebih sepuh.
Enaknyaaa..
kaya gini tuh kalo ada apa-apa, bisa saling jaga dan saling peduli yaa..
Wah seru banget tradisi silaturahminya, jadi tidak ada istilah tidak tahu kabar tetangga dan kerabat. Semoga tradisi ini tetap lestari ditengah gempuran kemajuan teknologi yang kadang membuat kita kurang secara sosial
BalasHapus