Perubahan Iklim 2025: Fakta Ngeri Tentang Bumi dan Cara Menyelamatkannya

5 komentar


Ilustrasi bumi memanas akibat perubahan iklim

Selamat Hari Bumi 2025!

Tahun 2025 disebut-sebut sebagai titik kritis bagi bumi. Perubahan iklim semakin nyata, krisis lingkungan meluas, dan banyak prediksi ilmiah menyebut bumi sedang menuju masa depan yang kelam. Artikel ini membahas fakta-fakta mengejutkan tentang kondisi planet kita—dan lebih penting lagi, bagaimana kita bisa menyelamatkannya sebelum terlambat. Hari Bumi 2025 telah melewati usia ke-55 tahun sejak pertama kali ditetapkan pada tahun 1970. Peringatan ini bukan hanya sekadar selebrasi tahunan. Ini adalah momen refleksi: bagaimana kabar planet yang menjadi satu-satunya rumah bagi lebih dari 8 miliar manusia ini? Apakah kita makin peduli atau justru makin acuh?

Tema hari bumi 2025 kali ini adalah "Kekuatan Kita,Planet Kita'' yang mengajak seluruh manusia penghuni bumi untuk sadar betapa besarnya tanggungjawab kita menjaga planet tempat kita tinggal ini yang kenyataannya sedang tidak baik-baik saja. Namun, harapan itu selalu ada. Dan harapan itu butuh aksi nyata, dari kita semua—dimulai dari hal-hal paling sederhana yang bisa kita lakukan setelah melihat 5 fakta mengerikan tentang planet yang sebagai rumah kita ini yang dirilis oleh lembaga-lembaga terpercaya. 

Fakta Terbaru Kondisi Bumi 2025

a. Tahun Terpanas Sepanjang Sejarah

Tahun 2024 resmi tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah umat manusia—dan ini jadi tanda serius bahwa perubahan iklim 2025 bukan lagi ancaman masa depan, tapi kenyataan hari ini. Berdasarkan laporan NASA dan NOAA, suhu rata-rata global meningkat 1,56°C dibandingkan masa pra-industri. Sekilas terdengar kecil, tapi dampaknya sangat besar: badai ekstrem, kekeringan berkepanjangan, dan cuaca yang semakin tak menentu adalah sinyal nyata bahwa kenaikan suhu global sedang melanda planet ini.

Kondisi ini tidak terjadi tiba-tiba. Tahun 2023 sebelumnya juga termasuk dalam jajaran tahun terpanas, dengan kenaikan suhu global mencapai 1,48°C. Pemicunya? Aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan produksi gas rumah kaca, ditambah fenomena El NiƱo yang memperkuat efeknya. Bahkan pemanasan laut global ikut mencetak rekor, mengganggu ekosistem laut dan mempersulit kehidupan nelayan serta masyarakat pesisir. Singkatnya, krisis iklim telah mengubah wajah bumi—dan kita semua jadi saksinya.

b. Es Kutub Terus Menyusut

Di belahan bumi utara, lapisan es Kutub Utara terus mencair—rata-rata sekitar 10.000 kilometer persegi setiap tahun dalam dua dekade terakhir. Menurut European Space Agency, pencairan ini mempercepat pemanasan global karena laut yang gelap menyerap lebih banyak panas matahari. Dampaknya terasa hingga ke Indonesia: kota-kota seperti Jakarta dan Semarang semakin sering dilanda banjir rob. Bahkan Climate Central memperkirakan sebagian wilayah pesisir utara Jawa bisa tenggelam pada 2050 jika tidak ada aksi nyata menghadapi krisis iklim global.

Tak hanya di kutub, kita juga menyaksikan lenyapnya satu-satunya es abadi di Indonesia: Gletser Carstensz di Puncak Jaya, Papua. Dalam dua dekade terakhir, luasnya menyusut lebih dari 80%. Antara 2025–2027, gletser ini diperkirakan benar-benar akan hilang. Ini bukan sekadar kehilangan bentang alam tropis, tapi juga hilangnya sistem air pegunungan dan warisan budaya masyarakat Papua. Saat gletser tropis pun tak lagi abadi, inilah saatnya kita mengakui bahwa perubahan iklim di Indonesia nyata dan mendesak.

Gletser Carstensz yang mencair di Papua
Perbandingan penampakan es di puncak jayawijaya, sumber www.kompas.com

c. Biodiversitas Menghilang

Setiap tahun, dunia kehilangan jutaan hektare hutan—dan bersamanya, hilang pula keanekaragaman hayati yang tak tergantikan. Pada tahun 2023, lebih dari 6,3 juta hektare hutan hilang, memperparah krisis deforestasi global. Padahal, hutan menjadi rumah bagi 80% spesies tumbuhan dan hewan darat. Ketika hutan lenyap, rantai kehidupan pun ikut runtuh. Menurut laporan IPBES, satu juta spesies kini terancam punah akibat aktivitas manusia seperti pembukaan lahan, polusi, dan eksploitasi berlebihan. Indonesia—yang memiliki hutan tropis terkaya di dunia—diam-diam kehilangan spesies bahkan sebelum kita sempat mengenalnya.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, lebih dari 900 spesies satwa Indonesia kini masuk daftar merah. Di antaranya adalah ikon langka seperti harimau Sumatra, badak Jawa, dan orangutan Kalimantan—yang kini hanya tersisa ratusan ekor di alam liar. Mereka bukan sekadar hewan, tapi simbol dari alam yang sedang sekarat. Jika kita terus diam, generasi mendatang mungkin hanya bisa melihat mereka di buku cerita—bukan di hutan yang hidup.

d. Polusi Mikroplastik Kian Parah

Dulu, kita mengira plastik hanya menjadi masalah di lautan menjerat penyu atau memenuhi perut ikan. Kini, ancamannya jauh lebih dekat: mikroplastik telah ditemukan dalam darah manusia. Penelitian dari University of Amsterdam (2024) mengungkap bahwa 77% sampel darah manusia mengandung partikel mikroplastik, yang ukurannya sangat kecil hingga tak terlihat mata. Partikel ini bukan lagi limbah laut, melainkan sesuatu yang kini bisa mengalir bersama darah menjadikannya isu kesehatan manusia akibat polusi plastik.

Mikroplastik masuk ke tubuh kita lewat berbagai jalur: air minum dalam kemasan, makanan laut, bahkan udara yang kita hirup. Artinya, tanpa sadar, kita bisa "mengonsumsi" plastik setiap hari dalam jumlah kecil. Para ilmuwan masih meneliti dampak jangka panjangnya terhadap tubuh, tapi satu hal jelas: polusi mikroplastik bukan lagi masalah lingkungan semata, tapi juga ancaman terhadap kesehatan kita. Ketika plastik masuk ke dalam rumah, makanan, dan tubuh, saatnya kita menyadari skala ancaman yang sesungguhny

Mikroplastik
Sumber: milestonesrl.com

Mengapa Krisis Iklim Harus Jadi Perhatian Kita Semua 

Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan bukan hanya tentang es mencair di kutub atau satwa yang punah. Ini tentang masa depan anak-anak kita. Tentang petani yang gagal panen karena cuaca ekstrem. Tentang nelayan yang kesulitan karena pencemaran laut dan kerusakan ekosistem pesisir. Ini juga soal kesehatan masyarakat, yang terancam oleh polusi udara, air tercemar, dan lingkungan yang tidak lagi aman ditinggali.
Krisis iklim sudah di depan mata, dan setiap orang punya andil dalam solusinya. Ini bukan hanya tanggung jawab negara atau kebijakan global, tapi tentang pilihan sehari-hari kita—dari pengelolaan sampah, konsumsi energi, hingga kebiasaan berbelanja. Jika kita mulai peduli dan bertindak, sekecil apa pun langkahnya, kita sedang membangun harapan untuk bumi yang lebih baik bagi generasi berikutnya.

Apa yang Bisa Kita Lakukan? 

Perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang dilakukan banyak orang secara konsisten. Mungkin kita merasa tidak bisa mengubah dunia, tapi setiap tindakan kita tetap punya dampak—terutama jika kita melakukannya bersama. Berikut beberapa hal sederhana yang bisa kita lakukan mulai Hari Bumi 2025 ini untuk menjaga bumi tetap sehat:

  1. Kurangi Plastik Sekali Pakai

    Bawa botol minum sendiri, gunakan tas kain, dan pilih produk dengan kemasan minimal. Setiap kantong plastik yang tidak kita pakai adalah satu ancaman lebih sedikit untuk lautan yang penuh sampah.

  2. Tanam Pohon (atau Rawat yang Sudah Ada)

    Pohon bukan cuma menghasilkan oksigen. Mereka juga menyerap karbon dioksida, menjaga tanah tetap subur, dan menjadi rumah bagi banyak spesies. Ayo mulai menanam pohon atau merawat tanaman yang ada di sekitar kita.

  3. Bijak Konsumsi

    Makan secukupnya, kurangi makanan olahan, dan pilih produk lokal. Semakin sedikit rantai distribusi, semakin kecil jejak karbon yang kita hasilkan. Pilih kualitas, bukan kuantitas.

  4. Gunakan Transportasi Ramah Lingkungan

    Naik sepeda, jalan kaki, atau gunakan transportasi umum. Selain sehat, pilihan ini juga menghemat energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang memperburuk perubahan iklim.

  5. Suarakan Kepedulianmu

    Gunakan media sosialmu untuk menyebarkan kesadaran dan mengajak orang lain ikut peduli. Ajak teman, keluarga, dan komunitas untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar. 

Penutup

Hari Bumi: Bukan Sekali Setahun

Hari Bumi memang diperingati setiap 22 April. Tapi menjaga bumi harus dilakukan setiap hari. Bukan karena kita ini aktivis, tapi karena kita manusia—makhluk yang diberi akal untuk merawat, bukan merusak.

Ingat, bumi tidak butuh kita. Kita yang butuh bumi. Jika hari ini kita tidak bertindak, mungkin suatu saat nanti anak cucu kita hanya bisa mengenal hutan dari buku gambar, dan es kutub hanya jadi legenda.

Apa pendapatmu tentang kondisi bumi saat ini? Bagikan di kolom komentar


Referensi 

Leslie, H. A., van Velzen, M. J. M., Brandsma, S. H., Vethaak, A. D., Garcia-Vallejo, J. J., & Lamoree, M. H. (2022). Discovery and quantification of plastic particle pollution in human blood. Environment International, 163, 107199. https://doi.org/10.1016/j.envint.2022.107199

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2023). Status Keanekaragaman Hayati Indonesia Tahun 2023. Jakarta: Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

European Space Agency. (n.d.). Arctic sea ice thickness. Retrieved from https://www.esa.int/Applications/Observing_the_Earth/CryoSat/Arctic_sea_ice_thickness

Climate Central. (n.d.). Coastal risk screening tool. Retrieved from https://coastal.climatecentral.org/

Kompas. (2022, January 19). Es abadi di Puncak Jaya Papua diprediksi hilang 2025. Retrieved from https://www.kompas.com/sains/read/2022/01/19/110000623/es-abadi-di-puncak-jaya-papua-diprediksi-hilang-2025

NASA Earth Observatory. (n.d.). Sea ice and sea level rise. Retrieved from https://earthobservatory.nasa.gov/features/SeaIce

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). (n.d.). Pencairan es abadi Puncak Jaya. Retrieved from https://brin.go.id/puncak-jaya-glacier

efariana
Assalamualaikum wr.wb Hallo, aku Efa Riana Lahir dan besar di salah satu pulau indah di gugusan Riau Kepulauan, yaitu pulau Rupat. aku adalah seorang perempuan yang mencintai ilmu sejak berseragam putih biru. Pilihan hati membawaku menekuni dunia sains, khususnya Biologi, hingga meraih gelar Magister di bidang tersebut. Kini aku berperan penuh sebagai istri, ibu dari tiga anak yang penuh rasa ingin tahu, sekaligus belajar menjadi content creator di bidang edukasi biologi dan motherhood. Aku percaya, peran perempuan bukan hanya soal memberi, tapi juga terus belajar dan tumbuh. Blog ini adalah rumah kecil untuk dua hal besar yang kusukai: Biolife dan Motherhood. Di sini aku menulis tentang biologi populer, dunia tumbuhan dan hewan, biomolekul, serta materi pelajaran. Di sisi lain, aku juga berbagi tentang parenting berbasis sains, eksperimen seru untuk anak, hingga perjalanan self-growth sebagai ibu. Semoga blog ini bisa jadi tempat pulang bagi siapa pun yang ingin belajar, berbagi, dan tumbuh bersama. Terima kasih sudah berkunjung — semoga betah ya! Salam hangat, Efa riana
Terbaru Lebih lama

Related Posts

5 komentar

  1. Kalau lihat tulisan seperti ini rasanya ngeri banget..entah mau kemana kita akan lari kalau kondisi bumi sudah beneran rusak dan tak bisa didiami

    BalasHapus
  2. Ngeri ya, pencemaran sudah terjadi dimana-mana. Miris melihatnya. Sudah saatnya untuk mengambil peran ikut menjaga kelestarian alam bukan sekedar membuang sampah pada tempatnya

    BalasHapus
  3. Kesadaran itu sesuatu yang mahal memang. Dan pejuang kesadaran yang bantu menyadarkan orang juga harus sabar. Efek sakitnya bumi sebenarnya juga telah kita rasakan melalui kualitas kesehatan yang buruk dan beragam bencana. Tapi ya kalo pas lagi ga sadar itu memang lagi pingsan kita. Perlu sukarelawan yang bangunin. Pejuang lingkungan memang hebat!

    BalasHapus
  4. Ya allah penting sekali. Nih untuk edukasi secara merata. Apalagi bagi masyarakat awam yang perlu. Diingatkan untuk. Peduli lingkungan

    BalasHapus
  5. mantaap mba fa, sering-sering nulis tentang edukasi alam dan lingkungan..penting banget ini terutama buat sy sendiri yang kadang masih teledor dan lalai demi kenyamanan diri pribadi,,,hiikss

    BalasHapus

Posting Komentar