Parenting Berdasarkan Sains: Cara Mendidik Anak dengan Bukti, Bukan Tebakan

18 komentar

 Ilustrasi orang tua membaca buku bersama anak di ruang keluarga sebagai simbol pengasuhan berbasis sains dan bonding emosional.

Beberapa tahun lalu, saat anak pertamaku mulai memasuki usia dua tahun, emosi tantrumnya masih belum juga reda. Aku merasa sudah memberikan kasih sayang, tapi kenapa tantrumnya makin menjadi? Aku menyadari satu hal bahwa menjadi orang tua ternyata bukan sekadar soal cinta dan naluri. Dari situlah aku mulai mencari informasi tentang apa sebenarnya yang terjadi melalui data dan fakta ilmiah, bukan hanya dari nasihat orang sekitar atau tradisi turun-temurun.

Di titik itulah aku mengenal yang namanya parenting berdasarkan sains.

Apa Itu Parenting Berdasarkan Sains?

Parenting berdasarkan sains adalah pendekatan dalam mengasuh anak yang berdasarkan hasil penelitian ilmiah, bukan hanya mitos atau kebiasaan yang diwariskan. Ini bukan berarti kita jadi robot atau terlalu “serius”, tapi lebih kepada bagaimana kita memahami anak berdasarkan perkembangan otak, psikologi, dan biologi anak.

Contohnya begini, 

ketika anak menangis terus-menerus, kita bisa memilih untuk memarahinya, membiarkannya, atau... memahami bahwa otaknya memang belum berkembang sempurna dalam mengatur emosi.

Dengan pendekatan ini, kita jadi tahu bahwa tantrum bukanlah “ulah”, tapi sinyal. Dengan pengetahuan ini kita akan mudah lebih sabar dan jadi lebih waras menghadapi anak karena tau sebabnya dan mudah mencari solusinya.

Prinsip Utama Parenting Berbasis Sains

Dalam pengasuhan berbasis sains, kita memegang beberapa prinsip penting:

  1. Observasi yaitu mengenali pola dan respon anak
  2. Trial and error yaitu mencoba pendekatan dan melihat mana yang efektif
  3. Evidence-based yaitu keputusan parenting diambil berdasarkan hasil riset, bukan intuisi semata
Dari ketiga prinsip ini nantinya akan mempengaruhi keputusan dan perlakuan apa yang bisa diambil orang tua.

Anak sebagai individu unik: tidak semua anak cocok dengan metode yang sama

Dengan memahami ini, kita jadi lebih fleksibel dan terarah. Misalnya, alih-alih memaksa anak belajar membaca di usia 3 tahun, kita bisa mempelajari, memahami dan melihat dulu gaya belajar anak, apakah ia lebih visual, auditori, atau kinestetik?

Apa Bedanya dengan Parenting Konvensional?

Parenting konvensional seringkali mengandalkan pengalaman, petuah orang tua dulu, atau standar sosial (“dulu Ibu bisa kok tanpa banyak teori”). Tidak salah, tapi kadang pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa zaman berubah, informasi bertambah, dan setiap anak itu unik.

Parenting ilmiah bukan berarti anti-tradisi. Tapi kita memilih yang terbaik dari dua dunia yaitu hati yang hangat dan kepala yang jernih.

Infografis perbandingan parenting konvensional dan parenting berbasis sains dalam cara mendidik anak, disiplin, dan pendekatan emosional.
Konvensional vs Ilmiah: Mana yang Lebih Efektif?

Kenapa Harus Parenting Berdasarkan Sains?

Dalam perjalanan menjadi seorang ibu yang sekarang diamanahi tiga orang buah hati, tentunya Aku pernah berada di fase merasa gagal sebagai ibu. Semua usaha terasa sia-sia. Anak tantrum, tidur malam susah, makan pilih-pilih, pertumbuhan tidak sesuai usia, padahal aku telah berusaha memberikan yang terbaik. Aku pun mulai mempertanyakan: “Apa aku tidak cukup baik sebagai ibu?” Tapi ternyata, masalahnya bukan pada niat atau cinta. Yang aku butuhkan waktu itu adalah pemahaman keilmuan tentang anak.

Ilmu Pengetahuan Membantu Kita Memahami, Bukan Menghakimi

Bayangkan kalau kita mendidik anak seperti menavigasi kota besar tanpa peta. Bisa aja sampai tujuan, tapi muter-muter dulu, capek, salah jalan, dan makan waktu. Nah, ilmu parenting berbasis sains ibarat Google Maps-nya dunia parenting.

Misalnya, ada riset dari Harvard Center on the Developing Child yang menjelaskan bahwa otak anak usia dini berkembang paling cepat saat diberi stimulasi positif, seperti pelukan, kata-kata yang lembut, dan aktivitas sensorik. Artinya, ketika kita tahu bagaimana perkembangan otak anak bekerja, kita jadi lebih tepat sasaran dalam mengasuh.

Data Bukan untuk Menakut-nakuti, Tapi Menguatkan

Banyak orang menganggap pendekatan ilmiah itu “terlalu ribet” atau “terlalu kaku”. Padahal, justru sebaliknya. Dengan tahu dasar-dasar biologi anak, hormon, dan perkembangan emosi, kita bisa lebih tenang, karena tidak semuanya harus ditebak-tebak.

Contoh lain: saat anak sulit tidur, alih-alih marah, kita bisa mencari tahu soal hormon melatonin, rutinitas tidur anak, dan efek blue light dari gadget. Ilmu membuat kita punya kendali, bukan panik.

Lebih Personal, Lebih Adaptif

Salah satu keindahan dari parenting berdasarkan sains adalah sifatnya yang tidak saklek. Ia justru menekankan pentingnya menyesuaikan pendekatan dengan gaya belajar anak, kebutuhan emosional, dan fase perkembangan mereka.

Alih-alih ikut tren “anak usia 2 tahun harus bisa ini-itu”, pendekatan ini membuat kita fokus pada potensi dan kenyamanan si kecil. Dan ini terbukti bikin hubungan ibu-anak jauh lebih hangat dan tidak penuh tekanan.

Manfaat Parenting Ilmiah untuk Perkembangan Anak

Anak-anak itu seperti benih tanaman mereka nggak cuma butuh cinta, tapi juga lingkungan tumbuh yang tepat. Dan kita, sebagai orang tua, perlu tahu ilmunya supaya bisa merawat mereka dengan benar. Dari sinilah aku mulai tertarik mendalami parenting ilmiah karena aku ingin membesarkan anak bukan hanya dengan naluri, tapi juga dengan pemahaman ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.

Membentuk Otak Anak Lebih Optimal

Ternyata 90% perkembangan otak anak terjadi sebelum mereka berusia 5 tahun? Ini bukan angka karangan. Data dari berbagai riset neurosains menunjukkan bahwa masa-masa awal kehidupan adalah periode emas. Bahkan menurut Harvard Center on the Developing Child, satu juta koneksi saraf dapat terbentuk setiap detik di masa ini.

Makanya, stimulasi dini itu penting. Tapi bukan sekadar ngajak main ya, melainkan bermain yang sesuai tahap perkembangan. Misalnya, eksperimen sains sederhana atau sensory play bisa sangat mendukung kognitif anak. Pemahaman ini bikin aku selalu mikir kalau beli mainan anak bukan sekedar lucu tapi yang lebih penting bisa bantu anak berkembang gak?

Mengurangi Stres dalam Pengasuhan

Dulu aku gampang stres kalau anak tantrum. Aku merasa gagal, lelah, dan nggak jarang ikut marah juga. Tapi setelah belajar tentang regulasi emosi anak dari pendekatan neuropsikologi, semuanya terasa lebih jelas. Aku mulai paham tantrum bukan karena anak bandel, tapi karena mereka belum bisa menyalurkan emosi secara sehat.

Korteks prefrontal, bagian otak yang mengatur emosi dan kontrol diri, belum matang sempurna di usia balita. Jadi ketika mereka meledak-ledak, itu bukan karena mereka “nggak nurut”, tapi karena mereka memang belum tahu cara mengelola rasa.

Dan sejak aku tahu itu, aku jadi lebih tenang. Bukan karena jadi ibu yang super sabar, tapi karena ngerti cara ilmiah mendidik anak. Aku tahu kapan harus memeluk, kapan harus diam, dan kapan cukup hadir sebagai tempat aman untuk anak meluapkan emosinya.

Hubungan Orang Tua dan Anak Lebih Sehat

Dulu aku pikir hubungan yang hangat cukup dibangun dari ucapan sayang dan pelukan. Tapi pendekatan ilmiah dalam parenting ngajarin aku lebih dari itu. Untuk membentuk secure attachment, ternyata dibutuhkan respon yang konsisten, empati, dan kehadiran penuh kesadaran.

Dan hasilnya terasa nyata. Anak jadi lebih kooperatif, aku juga nggak mudah merasa gagal. Karena semua yang aku lakukan, meskipun nggak selalu sempurna, berangkat dari pemahaman yang mendalam. Aku tahu alasan di balik setiap pendekatan bukan karena ikut tren, tapi karena ada pengetahuan yang mendukungnya.

Mengapa Pendekatan Ilmiah dalam Parenting Penting?

Aku pernah berada di titik bingung dan frustasi dalam mengasuh anak. Saran-saran dari orang sekitar sering kali bertolak belakang: “Jangan dimarahi, nanti trauma,” tapi juga, “Kalau nggak dimarahin, nanti keterlaluan.” Aku bingung dong gimana sih cara yang benar ngadepin anak.

Sampai akhirnya aku ketemu satu jalur terang parenting berdasarkan riset. Sejak saat itu, aku mulai memilah mana yang bisa diterapkan dan mana yang enggak. Aku belajar tentang otak anak, emosi, dan bagaimana semua itu bekerja bareng-bareng untuk membentuk perilaku mereka.

Neurosains Anak dan Perkembangan Otak

Salah satu hal yang bikin aku jatuh cinta pada pendekatan ilmiah dalam parenting adalah bagian ini. Ternyata, sejak bayi lahir, perkembangan otaknya melesat luar biasa cepat. Setiap interaksi entah itu bicara, menyentuh, bermain—mempengaruhi struktur otak anak secara langsung. ini di jelasin juga di webnya harvard university tentang arsitektur otak.

Itulah kenapa aku mulai lebih hati-hati dalam hal-hal kecil: kata-kata yang aku pilih, cara aku menyentuh, atau waktu yang aku luangkan. Karena aku sadar, semua itu bukan cuma “momen parenting”, tapi pembentuk masa depan anak.

Psikologi Anak dan Respons Emosional

Masalah tantrum pada anak pertamaku sempat membuat aku kewalahan. Awalnya aku pikir dia manja atau terlalu sensitif. Tapi waktu mulai belajar soal psikologi anak, aku menyadari itu bukan salah dia.

Jadi Otak anak belum mampu mengelola emosi sendiri, dan mereka butuh orang tua yang bisa menjadi “otak luar” bagi mereka. Sejak itu, aku belajar memvalidasi perasaannya tanpa menyerah pada kemauannya. Aku hadir, bukan hanya untuk mengatur, tapi untuk mendampingi proses emosionalnya.

Dan yang mengejutkan dengan pendekatan ini, anak jadi lebih tenang dan lebih cepat belajar mengelola emosinya sendiri.

Strategi Ilmiah Mendidik Anak dalam Keseharian

Saat pertama kali belajar soal strategi parenting modern, aku merasa seperti nemu peta dalam dunia pengasuhan yang penuh belokan. Ternyata, banyak hal yang aku anggap “naluri keibuan” selama ini justru punya dasar ilmiah yang kuat. Dan yang paling membantuku adalah ketika bisa menerapkannya dalam aktivitas keseharian, bukan cuma teori.

Membangun Rutinitas Sehat dengan Bukti Sains

Dulu aku berpikir rutinitas itu hanya untuk membuat anak teratur dan biar nggak rewel. Tapi ternyata lebih dalam dari itu.

Menurut American Academy of Pediatrics, rutinitas harian yang konsisten membantu anak merasa aman dan terprediksi, yang penting untuk perkembangan emosional mereka. Dalam konteks pengasuhan anak usia dini, rutinitas seperti tidur makan, dan waktu bermain punya efek besar terhadap kestabilan emosi dan fokus anak.

Misalnya, waktu tidur. Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak yang tidur cukup dan teratur memiliki fungsi kognitif dan pengendalian emosi yang lebih baik. Jadi, ketika aku membuat jadwal tidur yang konsisten dan menjaga ritual sebelum tidur (seperti membaca buku dan meredupkan lampu), itu sebenarnya adalah bagian dari cara ilmiah mendidik anak. Penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki rutinitas tidur yang konsisten memiliki fungsi eksekutif otak yang lebih baik, termasuk kemampuan memusatkan perhatian dan mengendalikan emosi (Mindell et al., 2015).

Pendekatan Disiplin Positif Berdasarkan Psikologi

Kata disiplin sering disalahartikan sebagai hukuman. Aku pun dulu begitu. Sampai aku belajar bahwa  disiplin positif  bukan tentang menghukum, tapi membimbing.

Dalam strategi parenting modern, pendekatan ini lebih mengedepankan empati, komunikasi, dan batasan yang jelas, daripada ancaman atau teriakan. Salah satu teori favoritku adalah dari Dr. Jane Nelsen, pencetus Positive Discipline. Ia menekankan bahwa anak akan lebih kooperatif jika merasa terhubung dan dihargai.

Contohnya? Daripada bilang, “Kamu nakal banget sih, Mama capek!”, kita bisa bilang, “Mama lihat kamu kesal karena mainannya rusak, yuk kita bicarakan pelan-pelan.” Ini bukan memanjakan, tapi menolong anak belajar mengelola konflik dengan aman. Dan ini semua didukung oleh riset psikologi perkembangan anak.

Mendorong Rasa Ingin Tahu Anak Lewat Eksperimen Sains

Sebagai pecinta biologi dan ibu tiga anak, aku paling senang mengajak anak bereksperimen. Bukan hanya karena seru, tapi juga karena secara ilmiah, aktivitas ini terbukti mendukung perkembangan kognitif dan rasa ingin tahu alami anak.

Penelitian dari University of California menyebutkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam aktivitas eksploratif seperti eksperimen sains sederhana menunjukkan peningkatan kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah.

Di rumah, aku pernah mengajak anakku membuat ekosistem aquarium untuk ikan hasil tangkapannya di ladang. ternyata banyak pertanyaan yang di lontarkan anakku, yang artinya otaknya terstimulasi dengan pengalaman yang ia lakukan. Momen seperti ini adalah cara yang sangat efektif untuk mengajarkan konsep ilmiah sejak dini, tanpa harus menggurui.

Tantangan Menerapkan Parenting Berbasis Sains di Indonesia

Gap Pengetahuan Ilmiah pada Orang Tua

Aku pernah membacakan artikel tentang perkembangan otak anak pada ibuku, dengan semangat. Tapi dia hanya mengangguk dan bilang, “Yah, zaman dulu kita juga nggak pakai ilmu beginian, tetap tumbuh juga kan.”

Kalimat itu lumrah. Bahkan bisa dibilang mewakili suara banyak orang tua generasi sebelumnya yang merasa sains itu ribet dan “nggak praktis.”

Inilah tantangannya. Parenting berbasis sains belum menjadi pengetahuan umum. Ia masih dianggap gaya parenting “anak kota” atau “ibu-ibu melek internet,” bukan sebagai pendekatan universal yang bisa diterapkan siapa saja.

Banyak orang tua terutama di pedesaan atau dari generasi lebih tua tidak punya akses atau referensi yang tepat. Sementara itu, kita yang lebih muda pun seringkali belum dibekali pemahaman dasar psikologi anak atau perkembangan otak manusia.

Akhirnya, pendekatan pengasuhan jadi warisan estafet: dilakukan karena "sudah biasa," bukan karena "sudah terbukti."

Konflik dengan Pola Asuh Tradisional

“Anakmu itu kurang tegas dididik. Harusnya kamu galakin dikit.”

“Zaman mama dulu, kalau anak nangis terus dibiarin aja, biar tahu rasa.”

Aku sudah sering mendengar kalimat-kalimat seperti ini. Kadang dari tetangga, kadang dari keluarga. Dan di sanalah aku merasa tersudut, terjebak antara dua dunia: dunia ilmu dan dunia tradisi.

Indonesia adalah negara dengan budaya pengasuhan yang sangat kuat, kental dengan norma hormat pada orang tua, kepatuhan mutlak, dan pengendalian emosi. Dalam budaya ini, disiplin kerap disamakan dengan kekerasan, dan kepatuhan dianggap lebih penting daripada koneksi.

Ketika kita mencoba menerapkan parenting berbasis empati dan sains, tak jarang dianggap “lembek”, “terlalu memanjakan”, bahkan “kebarat-baratan.” Ini jadi dilema besar bagi orang tua muda yang ingin berubah, tapi juga ingin tetap dianggap menghormati nilai-nilai keluarga

Cara Mengkomunikasikan Pendekatan Ini kepada Keluarga Besar

Dulu aku sempat ngotot. Aku berdebat dengan ibuku soal tidak boleh memukul anak, soal validasi emosi, soal attachment. Tapi hasilnya? Kami malah saling diam dua hari.

Dari pengalaman itu, aku belajar satu hal penting: perubahan tidak datang lewat debat, tapi lewat contoh dan komunikasi hati ke hati.

Mengkomunikasikan parenting berbasis sains kepada keluarga besar memang butuh seni. Kita nggak bisa langsung menggurui atau membandingkan zaman dulu dengan sekarang. Yang bisa kita lakukan adalah:

  • Pilih waktu yang tepat. Hindari menyampaikan saat suasana panas. Ngobrol ringan saat suasana santai jauh lebih efektif.
  • Gunakan bahasa yang sederhana. Hindari istilah teknis. Misalnya, daripada bilang “teori regulasi emosi,” lebih baik katakan, “kalau kita peluk, anak merasa tenang dan bisa mikir jernih
  • Libatkan mereka secara perlahan. Ajak nenek kakek membaca buku cerita bersama cucu, atau melihat video edukatif pendek soal cara menenangkan anak
  • Tunjukkan hasilnya. Kadang perubahan yang nyata lebih meyakinkan daripada seribu argumen. Saat anak lebih tenang, lebih dekat dengan kita, keluarga besar mulai melihat, “oh, ternyata cara ini berhasil juga ya.”

Pada akhirnya, kita tidak bisa mengubah semua orang sekaligus. Tapi kita bisa menjadi titik awal, contoh kecil yang terus menyala, sambil tetap menjaga adab dan cinta dalam hubungan keluarga besar.

Kesimpulan dan Aksi Nyata

nfografis langkah awal parenting berdasarkan sains: membaca bersama anak, mengamati emosi anak, dan melakukan eksperimen sederhana di rumah.
Langkah Kecil, Dampak Besar

Dari sekian penjelsan tentang parenting berbasis sains yang telah aku paparkan, bagiku sendiri rasanya seperti menemukan cahaya di tengah gelap. Tiba-tiba banyak hal jadi masuk akal. Kenapa anak tantrum, kenapa nggak bisa diam, kenapa mereka bisa tiba-tiba menangis padahal lima menit lalu masih tertawa. Semua ada penjelasannya. Dan lebih dari itu, semua ada jalannya. Semoga pengetahuan ini juga bermanfaat untuk pembaca ku. 

Tapi aku juga sadar, parenting ilmiah bukan tentang jadi sempurna. Bukan juga tentang menghafal teori atau jadi robot yang kaku. Justru sebaliknya. Ini tentang menjadi orang tua yang mau belajar pelan-pelan, dari hal kecil, sambil tetap memeluk keunikan keluarga kita.

Kadang, menerapkan ilmu ini nggak selalu mulus. Ada hari di mana kita tetap berteriak. Ada momen di mana kita lupa berempati. Dan itu nggak apa-apa. Karena perjalanan pengasuhan bukan tentang tidak pernah gagal, tapi tentang selalu mau memperbaiki.

ingat, kamu bukan hanya sedang membesarkan anak. Kamu juga sedang menumbuhkan dirimu sendiri sebagai orang tua. Dengan ilmu yang tepat dan hati yang terus belajar, kita bisa tumbuh bersama—hari demi hari, langkah demi langkah.

Referensi

Mindell, J.A., Leichman, E.S., DuMond, C., & Sadeh, A. (2017). Sleep and Social-Emotional Development in Preschool-Age Children. Behavioral Sleep Medicine, 15(2), 89–106.

https://doi.org/10.1080/15402002.2015.1054946

efariana
A mother of three and a Biology graduate with a Master’s degree, I’m passionate about sharing educational content on biology and parenting. such as popular biology topics, plant and animal science, learning materials, and science-based parenting. so, enjoy it...
Terbaru Lebih lama

Related Posts

18 komentar

  1. Bener banget perbedaan pola pengasuhan zaman orang tua kita dan zaman kita yang memang berbeda kadang memicu konflik diantara kedua nya namun dengan pendekatan dan komunikasi yang baik kita berharap orang tua kita juga bisa memahami nya karena dengan perkemabangan zaman yang sekarang mau tidak mau pola pengasuhan juga mengalami perubahan

    BalasHapus
  2. Ulasan yang menarik soal parenting berbasis sains. Memang ya apapun pola pengasuhan kadang ada kendala dari orang terdekat kita. Setuju dengan mengkomunikasikannya, seperti parenting berbasis sains kepada keluarga besar kita ini, agar mereka bisa menerima.

    BalasHapus
  3. Sepakat mbak daripada ribut dengan ortu lebih baik memberikan contoh nyata dari sana beliau juga akan melihat
    Saya juga pernah debat dengan ibu terkait pengasuhan, ujungnya malah berantem, la saya kan produk asuhan ibu dan berhasil kan, beliau tersinggung la kalau bahas pengasuhan. Tapi seiring waktu beliaupun paham akhirnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. agak berat memang ketika di debat "kamu aja dulu ibu ginikan kok...." hehe

      Hapus
  4. Sukaa banget sma artikelnya, ka...
    Jadi ada deep thinking mengenai pola asuh yang aku terapkan selama ini. Walau pada prakteknya, pasti masih tertatih. Namun, parenting dengan ilmu, pastinya menjalankannya dengan mindfulness.

    Semoga anak-anak bertumbuh menjadi karakter yang islami dan menjadi penyejuk hati kedua orangtua.

    BalasHapus
  5. Iya pengasuhan memang cerita tentang beberapa kali gagal tapi lebih banyak suksesnya juga. Trial and error setiap waktu ya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya bener mba..yang penting niat berbenah terus kan ya

      Hapus
  6. Baru baru ini saya dengar istilah parenting VOC, sekarang ada istilah baru Parenting Sains. Memang sekarang mendidik anak harus bisa menggunakan metode terbaik ya kak, sebab karakteristik anak berbeda beda

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup benar sekali..apapun teorinya yang penting cocok dan anak kita jadi lebih baik kan ya..

      Hapus
  7. Mbak, saya cukup tergelitik dengan salah satu paparan di atas, yang tentang memvalidasi perasaan anak tanpa harus menyerah pada kemauannya. Itu contoh detilnya gimana ya?

    BalasHapus
  8. Meskipun saya orang sains tapi saya baru denger loh dengan parenting seperti ini. Ilmu baru nih...bagus banget penjelasannya

    BalasHapus
  9. Padat banget mbak tulisannya. Ah aku jadi merasa harus banyak berproses dalam mendidik anak-anak. Kita ternyata sama ya, ibu anak tiga Dan pernah berada di fase 'merasa gagal' apalagi kalau nggak bisa lagi gimana mengeloka emosi diri sendiri. Suka sama penjelasannya disini. Aku paling suka sama quote ini lho ' parenting sains bukan anti tradisi, tapi menggabungkan dua dunia yakni hati yang hangat dan kepala yang jernih.' makasih Insightnya mbak.

    BalasHapus
  10. simplenya, kalau aku memahami, ketika menghadapi anak tantrum, bukan hanya cinta dan kasih sayang yang di berikan ya. Melainkan, harus tahu dulu penyebabnya sehingga tantrum bisa diatasi dg baik Dimata anak. karena sesuai kebutuhan anak . aku juga baru tahu istilahnya ini mbak.

    BalasHapus
  11. Parenting berbasis sains ini tampaknya sudah tidak asing di kalangan milenial. Mungkin perkara namanya saja yang belum familier. Secara umum, pola pengasuhan kaum milenial sudah berbeda dengan pola asuh generasi sebelumnya (orang tuanya) yang masih lekat dengan hal berbau klenik.

    BalasHapus
  12. Parnting makin menantang dan mengurangi rasa penasaran anak serta memberikan anak-anak kesempatan eksplor untuk mengalami

    BalasHapus

Posting Komentar